Surat Edaran Kepala BPN RI No. 02/SE/XII/2012: Resolusi Konflik atau Hambatan Agrobisnis?


Sepanjang tahun 2012 dunia bisnis perkebunan di Indonesia diguncang dengan berbagai konflik pertanahan dengan masyarakat, mulai dari perusahaan pelat merah BUMN yang tergabung dalam PT Perkebunan Nusantara I s/d XIV, maupun perusahaan perkebunan milik swasta. Sebut saja kasus pertanahan di kebun tebu Unit Usaha Cinta Manis PT Perkebunan Nusantara VII, yang tidak hanya menimbulkan korban jiwa dari pihak masyarakat, tetapi juga kerugian materil yang tidak sedikit jumlahnya akibat aksi pembakaran tanaman tebu seluas +4.000 Ha dan aksi pemblokiran jalan produksi.

Terlepas dari kebenaran yang diperjuangkan oleh para pihak yang berkonflik, hal tersebut tidak dapat lepas faktor eksternal yang ada di belakangnya, mempertimbangkan semakin dekatnya tahun 2014 sehingga “mesin-mesin” politik mulai melakukan pemanasan. Salah satu isu strategis yang menjadi primadona dalam meraih simpati masyarakat adalah isu reformasi agraria.

Reformasi yang digulirkan oleh oknum intelektual tersebut adalah pembagian sebagian tanah milik perusahaan perkebunan kepada masyarakat, dengan dalih untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang ada di sekitar perusahaan perkebunan, dengan berbagai cara yang mungkin secara anarkis dan tidak dibenarkan secara hukum.

Pemerintah Pusat melalui Sekretaris Kabinet RI menaruh perhatian yang besar terhadap penanganan masalah dan potensi konflik sengketa tanah, melalui Surat Edaran No.03/Seskab/IV/2013 tanggal 22 April 2013 yang ditujukan kepada Kementerian Bidang terkait perkebunan dan Gubernur/Bupati/Walikota seluruh Indonesia, yang salah satu poin pentingnya menyampaikan arahan Presiden RI pada sidang Kabinet terbatas tanggal 25 Juli 2012 yaitu untuk penanganan sengketa lahan harus menggunakan win-win solution selain legal approach, sehingga Negara tidak dirugikan dan rakyat mendapat kesejahteraan meskipun dunia usaha sedikit berkurang keuntungannya.

Sejalan dengan arahan Presiden RI, BPN RI selaku lembaga Negara yang diamanatkan untuk mengelola pertanahan di Indonesia menerbitkan Surat Edaran No. 02/SE/XII/2012 yang ditujukan seluruh kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan untuk dapat lebih selektif dalam melakukan proses permohonan HGU yang diajukan oleh perusahaan, dengan persyaratan:
  1. Kewajiban Pembangunan Kebun Plasma untuk masyarakat sekitar seluas minimal 20% dari total luas areal kebun yang diusahakan dan kewajiban Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (Corporate Social Responsibility) bagi Perusahaan, bagi Perusahaan yang permohonan Hak Guna Usaha termasuk perpanjangan atau pembaruan HGU wajib;
  2. Kewajiban melakukan legalisir sesuai aslinya terhadap dokumen/data pendukung permohonan HGU berupa fotokopi, yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang.
Point penting yang menjadi permasalahan dalam Surat Edaran No. 02/SE/XII/2012 tersebut, adalah pembangunan kebun plasma seluas minimal 20% dari total luas areal kebun yang diajukan permohonan HGU, termasuk di dalamnya perusahaan yang mengajukan permohonan perpanjangan HGU ataupun pembaharuan HGU. Tentu saja hal ini bukan perkara yang mudah karena pembangunan kebun seluas 20% memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Bila kita kaji lebih dalam berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, seseungguhnya kewajiban pembangunan kebun seluas 20% telah diamanatkan dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 juncto Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/Permentan/OT.140 /2/2007, namun kewajiban pembangunan kebun plasma seluas minimal 20% tersebut terbatas diwajibkan bagi perusahaan yang mengajukan Izin Usaha Perkebunan (IUP) untuk pembukaan kebun baru.  Sedangkan untuk perusahaan perkebunan yang telah memiliki IUP maupun Surat Pendaftaran Usaha Perkebunan (SPUP) dinyatakan masih tetap berlaku.
Pertanyaannya bagaimana jika sebuah perkebunan telah lama berdiri/beroperasi dan telah memiliki IUP/SPUP (kebanyakan merupakan kebun eks. Perusahaan Belanda), apakah pantas untuk secara belaku surut (retro aktif) tetap diberlakukan kewajiban pembangunan kebun seluas 20% dalam SE No. 02/SE/XII/2012? dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi di atasnya?
Hal tersebut bila diterapkan dirasakan tidak sesuai dengan asas hukum (principle of legality) yang melarang suatu peraturan berlaku surut karena akan menimbulkan ketidakjelasan integritas penegakan hukum itu sendiri.
Sedangkan jika lebih bijak dilihat, permohonan HGU yang diajukan oleh perusahaan merupakan bentuk ketaatan perusahaan terhadap ketentuan hukum yang berlaku (Undang-Undang No. 5 Tahun 1960  juncto. Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1997), yang juga akan memberikan manfaat pemasukan kepada Negara dalam bentuk Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang tidak sedikit jumlah.
Filosofi penanganan konflik dalam SE No. 02/SE/XII/2012, hendaknya disinergikan dengan ketentuan hukum yang ada, sehingga dapat memberikan situasi yang kondusif bagi pelaku industri perkebunan maupun masyarakat sekitar perkebunan itu sendiri. Kewajiban pembangunan kebun seluas 20% tersebut dapat diterapkan kepada perusahaan yang melakukan pembukaan kebun baru, sedangkan untuk perkebunan yang telah lama eksis hendaknya “dipaksa” untuk lebih meningkatkan dalam pemberian bantuan CSR yang lebih tepat guna bagi masyarakat sekitar. Patut disadari bahwa industri perkebunan merupakan bisnis yang padat karya, sehingga bila keberlangsungan industri perkebunan “terganggu” maka ratusan ribu rakyat yang menggantungkan hidupnya di sektor pekerjaan perkebunan akan terancam.

Post a Comment

Previous Post Next Post