Implementasi Surat Edaran Sekeretaris Kabinet RI Nomor:SE.03/Seskab/IV/ 2013 tanggal 22 April 2013

Hampir lebih dari 2 bulan sejak Sekretaris Kabinet RI menerbitkan Surat Edaran Nomor: SE.03/Seskab/IV/2013 tanggal 22 April 2013 perihal Penanganan Masalah dan Potensi Konflik Sengketa Pertanahan, yang ditujukan kepada: Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan; Menteri Dalam Negeri; Menteri Kehutanan; Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral; Menteri Pertanian; Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi; Menteri Badan Usaha Milik Negara; Kepala Badan Pertanahan Nasional; Jaksa Agung RI; Kepala Kepolisian RI; dan Para Gubernur dan Bupati/Walikota di seluruh Indonesia.
Apabila kita perhatikan lebih lanjut, terbitnya Surat Edaran dimaksud dilatar belakangi oleh maraknya konflik pertanahan di beberapa wilayah di Indonesia, secara khusus konflik lahan PTPN II (Persero) di Sumatera Utara, konflik lahan Mesuji di Lampung, dan konflik PTPN VII (Persero) Cinta Manis di Sumatera Selatan. Hal tersebut tidak luput dari kajian Badan Informasi Geospasial yang menyatakan bahwa permasalahan tanah tersebut masih potensi terjadi di daerah lain yang diakibatkan tumpang tindih regulasi, perizinan, sengketa batas wilayah, sengketa hak ulayat dan penyerobotan tanah (okupasi).
Salah satu point penting di dalam Surat Edaran tersebut sejalan dengan arahan Presiden RI dalam Sidang Kabinet Terbatas tanggal 25 Juli 2012 yang secara khusus meminta dalam bahwa “penanganan sengketa tanah harus menggunakan formula win-win solution selain legal approach, sehingga negara tidak dirugikan dan rakyat mendapat kesejahteraan meskipun dunia usaha sedikit berkurang keuntungannya.”
Secara tersirat Presiden RI berupaya meredam konflik pertanahan yang ada di Indonesia dengan pola non litigasi, namun hal tersebut bukanlah resolusi konflik tanpa konsekuensi. Biaya yang tinggi merupakan konsekuensi yang tidak bisa dihindari, karena pengusaha/perusahaan perkebunan dalam penyelesaian konflik secara non litigasi maka dapat dipastikan harus mengeluarkan sejumlah uang dengan berbagai kemasan (tali asih, kerohiman, kompensasi, ganti rugi). Jika penyelesaian tidak dilakukan secara tuntas, hal tersebut rawan dijadikan sebagai modus untuk memperoleh uang bagi sebagian kalangan yang “bermatapencarian” sebagai okupan.
Lebih pelik bila permasalahan tanah melibatkan Perusahaan BUMN perkebunan, karena terbentur flesibilitas dalam penggunaan biaya. Jangan sampai maksud dan tujuan yang mulia untuk penyelesaian konflik tanah, justru menjadi sasaran aparat penegak hukum akibat kesalahan prosedur yang mengakibatkan kerugian negara (menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi) sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Oleh karenanya Pemerintah perlu membuatkan formulasi petunjuk teknis penyelesaian permasalahan tanah, sehingga tidak membuat “takut” Direksi BUMN Perkebunan dalam mengambil kebijakan yang terkait penyelesaian konflik pertanahan dengan pola win-win solution.
Sampai dengan saat ini, belum terlihat progress signifikan penyelesaian permasalahan tanah yang ada di daerah-daerah di Indonesia masih terkesan stagnan. Kinerja Tim Terpadu penyelesaian konflik tanah dirasa masih kalah agresif dan berbanding terbalik dengan “mesin-mesin politik” yang mulai panas menjelang Pemilu/Pilpres tahun 2014.

Post a Comment

Previous Post Next Post