Paham legalistis-positivistis hukum pidana di
Indonesia identik dengan asas legalitas hukum “nullum delictum nulla poena sine praveia lege punali” (tidak ada
perbuatan pidana yang dapat dihukum kecuali terlebih dahulu di atur/dibuat
dahulu oleh hukum sebelumnya). Asas legalitas membuat hukum pidana menjadi sangat
ketat (rigid) dalam hal pelaksanaan
fungsinya.
Paham legalistis-positivistis beranggapan
pelaksanaan hukum pidana hanya berkutat pada dunia perundang-undangan saja,
sehingga lebih bersifat dogmatis (skema hukum final) terhadap aturan hukum yang
telah dibuat oleh pembuat undang-undang. Konsekuensinya pertimbangan ekstra
legal yang tidak masuk dalam skema
perundang-undangan tidak dapat dijadikan dasar hukum, karena dianggap melanggar
prinsip objektivitas hukum pidana.
Penerapan paham legalistis-positivistis
menyebabkan hukum pidana tidak mampu mengikuti perkembangan masyarakat yang
mengalami perubahan, sehingga hal tersebut menimbulkan masalah hukum yang
disebut kriminalisasi (criminalization)
dan dekriminalisasi (decriminalization)
yang sejatinya merupakan bagian pembaharuan hukum pidana (criminal policy atau strafrechts politiek). Oleh karena itu
keberatan utama terhadap paham legalistis-positivistis karena menempatkan
manusia sebagai objek benda mati, yang meniadakan sifat manusia paling hakiki
yang memiliki kemauan dan perasaan. Penegak hukum menganggap KUHP dan KUHAP
sebagai “kitab suci” yang tidak dapat diubah.
Apabila kita menginginkan hukum pidana sebagai
norma yang mampu menjadi panglima dalam menanggulangi kejahatan atau untuk
menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam masyarakat, maka hal tersebut
tidak akan berhasil. Hal tersebut dikarenakan unsur-unsur dalam sistem hukum (struktur;
substansi dan budaya hukum) yang selalu berubah. Sehingga sudah saatnya
dilakukan pembaharuan paradigma hukum (new
paradigm).
*Sumber Bacaan: “Rekonstruksi Hukum Pidana Era
Transformasi dan Globalisasi Dalam Penegakan Hukum Secara Integratif”; Prof.
Dr. Sunarto D.M., S.H., M.H.; 2009.
Post a Comment