Yaaaaah dia lewat lagi
……. itulah ungkapan
keluhan yang lazim saya sering ucapkan saat akan berangkat ke kantor, bukan
tanpa sebab saya mengeluh karena dengan waktu ke kantor yang mepet (saya masuk
kantor pukul 07.00 WIB), kemacetan lalu lintas jalan yang ada diperparah dengan
lewatnya kereta batu bara rangkaian panjang (babaranjang) milik PT Kereta Api
Indonesia (Persero) Subdivre 3.2 Tanjung Karang yang melintas sesukanya seakan tanpa peduli dengan
kepentingan saya (yang mau ke kantor) dan pengguna jalan lainnya.
Beranjak dari lazimnya saya “terjebak” di depan
perlintasan kereta api, maka secara tak sengaja saya pun sering memperhatikan
kondisi bangunan rumah warga yang ada di sepanjang rel perlintasan kereta. Bila
saat masih kecil yang saya pikirkan adalah tentang kenyamaman warga yang
tinggal di sepanjang rel kereta api akibat suara dan getaran saat melintasnya
kereta api, maka saat ini yang saya pikirkan bukan lagi soal kebisingan
melainkan soal status tanah di sepanjang perlintasan kereta api itu milik
siapa?
Apalagi pada akhir-akhir ini marak dalam
pemberitaan media lokal di Provinsi Lampung tentang rencana PT Kereta Api
Indonesia (Persero) Subdivre 3.2 Tanjung Karang yang berbekal peta groone kaart peninggalan belanda mengklaim lahan disepanjang perlintasan
kereta api adalah miliknya, sehingga akan melakukan pembongkaran bangunan rumah
warga tanpa bersedia memberikan kompensasi dalam bentuk apapun. Wuihhh sadis
juga yaaa?
Lalu pikiran saya pun bergulir tentang nasib
warga yang rumahnya akan digusur oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero)
Subdivre Tanjung Karang, apakah mereka (warga) sepenuhnya salah dan tidak
memiliki dasar hukum yang kuat atas bangunan rumah yang telah mereka dirikan
dan tempati secara turun temurun sejak lama? Dan bagaimana soal hak kebendaan (bezit) yang ada?
Untuk menjawab hal tersebut, saya
pun berupaya mengumpulkan beberapa referensi hukum dan pendapat dari rekan
praktisi bidang pertanahan terkait hal tersebut, dengan penjelasan ringkas
sebagai berikut:
- Keberadaan transportasi kereta api di Indonesia dimulai sejak era Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia, dan mayoritas jalur kereta api di Indonesia saat ini merupakan peninggalan kolonial Belanda yang dibuat dengan cara kerja paksa (romusha);
- Tujuan Pemerintah Kolonial Belanda membuat moda transportasi kereta api untuk memudahkan pengangkutan hasil bumi perkebunan milik Belanda di negara jajahannya. Sehingga jalur kereta api hampir semuanya bermuara ke pelabuhan;
- Pasca kemerdekaan 1945, Pemerintah Indonesia menasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Pemerintah Belanda yang ada di Indonesia, termasuk di dalamnya Perusahaan Jawatan Kereta Api;
- Pasca terbitnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, mengatur bahwa masa peralihan hak tanah barat (eks belanda) seperti: hak erfpacht, hak opstal; hak eigendom, tetap diakui keberadaannya maksimal 20 tahun sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 yaitu 24 September 1960 (jadi maksimal hak tanah barat diakui pada tanggal 24 September 1980);
- Apabila dalam waktu “transisi” 20 tahun tersebut di atas tidak dilakukan pendaftaran/konversi, maka demi hukum tanah-tanah eks barat akan menjadi tanah Negara dan pengakuan kepemilikan tanah hanya berdasarkan pada hak keperdataan saja;
- Tanah-tanah terdapat dalam Peta Groone Kaart belumlah dapat dikatakan telah memiliki hak tanah, karena yang termasuk jenis hak tanah eks barat meliputi: hak erfpacht, hak opstal; hak eigendom.
Pertanyaan berikutnya adalah apakah dasar
PT tanah Kereta Api Indonesia (Persero) Subdivre 3.2 Tanjung Karang yang
mengklaim tanah disepanjang perlintasan adalah miliknya berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian?
Untuk menjawab hal tersebut simple nya dapat dibuktikan dengan
sertipikat hak pakai atas tanah di sepanjang jalur kereta api? Namun apakah PT Kereta Api
Indonesia (Persero) Subdivre 3.2 Tanjung Karang memiliki sertipikat hak
pakainya? Jika hanya berpedoman pada peta groone
kaart (eks tanah barat) maka dasar klaim
tersebut tidak kuat, karena dengan terbitnya UUPA maka tanah eks barat yang
tidak di daftarkan sudah tidak diakui lagi keberadaannya dan terbatas pada hak
keperdataannya saja.
Selanjutnya dalih dari PT Kereta Api
Indonesia (Persero) Subdivre 3.2 Tanjung Karang yang mengatakan bahwa
penggusuran bangunan warga disepanjang ruang manfaat jalur kertea api merupakan
amanah dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, kiranya
perlu dipertanyakan kembali kebenarannya. Hal ini dikarenakan untuk penertiban dan
redsitribusi tanah-tanah Negara merupakan kewenangan dari Badan Pertanahan
Nasional RI, bukan PT Kereta Api Indonesia (Persero) Subdivre 3.2 Tanjung
Karang.
Lebih jauh yang perlu dilihat apakah
selama ini tanah yang diklaim milik PT Kereta Api Indonesia (Persero) Subdivre 3.2
Tanjung Karang kondisinya dikelola dengan baik, yang dapat diparameterkan
dengan adanya pengelolaan/perawatan rutin, pemasangan patok batas, maupun
pembayaran pajak bumi dan bangunan oleh pemegang hak. Jika hal tersebut tidak
dilakukan maka tanah tersebut masuk dalam kategori tanah terlantar vide Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun
2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.
Kekacauan akan status tanah di
daerah sepanjang rel kereta api semakin runyam, tatkala para hakim dalam
berbagai kasus, memberikan putusan yang berbeda-beda terkait status tanah
dimaksud. Ada yang memenangkan pihak PT Kereta Api Indonesia, ada juga yang
memenangkan pihak Masyarakat. Sehingga menimbulkan kebingungan tersendiri bagi
pihak Badan Pertanahan Nasional RI maupun masyarakat awam.
Dari sisi dasar kepemilikan tanah
oleh masyarakat disepanjang jalur kereta api, secara ketentuan Pasal 533
KUHPerdata menentukan bahwa setiap pemegang kedudukan berkuasa selalu dianggap beritikad
baik dan bahwa bahwa si pemegang kedudukan berkuasa beritikad buruk harus
dibuktikan dengan orang yang menuduh. Apakah hal ini dapat dibuktikan secara
hukum oleh Pihak PT Kereta Api Indonesia (Persero) Subdivre 3.2 Tanjung Karang?
Atau pun sebaliknya?
Terhadap rencana penggusuran
bangunan rumah warga oleh pihak PT Kereta Api Indonesia (Persero) Subdivre 3.2 Tanjung
Karang, kiranya dapat diselesaikan dengan baik melalui jalur musyawarah dengan
mengesampingkan ego sektoral masing-masing. Apalagi tahun 2014 merupakan tahun
politik, dan permasalahan tanah merupakan hal “seksi” nan populer untuk
diangkat guna mendongkrak perolehan suara di Pemilu 2014.
soal hukum boleh pro dan kontra. tp kalo soal telat ke kantor itu tergantung individunya hehehe. apalagi penyebab terlambatnya adalah hal yang terukur. solusinya berangkat lebih pagi. lol.
ReplyDeletekalaw terlambat ke kantor karna terhalang perlintasan kereta api gk masuk akal,,di jakarta jja yg frekwensinya padat,,gk ada yg comment terlambat karna terhalang perlintasan ka,,hehehehehe
DeleteSudah 2 tahun ini saya tidak pernah telat dan selalu berangkat pagi biar gak kena kereta api gan,
DeleteTp coba banyangkan jika ada mobil ambulance yg bawa pasien sekarat (detik demi detik pun sangat berarti baginya) harus terhambat perjalanannya gara2 kereta batu bara?
jadi mesti gimana? apa kereta mesti berhenti tiba-tiba untuk memberi ruang bagi ambulance?
Deletesekarang saya tanya yang mana lebih dulu, jalan rel atau jalan aspal yg dibangun?
trs kalo ada orang jalan di rel atau mobil di rel trs tertemper kereta, itu salah kereta?
romusha itu jaman penjajahan Jepang bro. hahaha
ReplyDeletemungkin maksudnya nica,,,
Deletemasalah terlambat ke kantor bkan karna terhalang perlintasan,tetapi anda tdk mau awal berangkatnya,anda biar tdk terhalang dan lancar,seblm anda kerja kabarkan ke kapolda dan pt kai,biar anda di kawal sampai kantor,anda pnya kepentingan,keretapun pnya kepentingan jdi hrs saling menghargai,bkan egoisme,masalah bangunan liar di pingir rel pasti tanpa perizinannya,tanah kereta tanah negara jga,makanya di atur dlm uu no 23 thn 2007,tentang perizinan perlintasan dan perizinan bangunan,uu di buat oleh pemerintah dan wakul rakyat,jadi gk usah di pertanyakan kebenarannya,penertiban bangunan liar karna ada sebab dan akibat,contoh pelemparan batu terhadap kereta,orang nyebrang sembarangan,sabotase yg mengakibatkan korban dan kerugian,masyarakat di pingir rel tingal sadaaaar jja ini tanah spa? bli tdak,warisan bukan,hibahpun bkan yg jelas penyerobotan,,selaama mengunakan lahan tersebut ada perizinan nya tdk?pasti tdak ada..uu di buat supaya tertib dan di siplin di taati oleh warganegara indonesia yg baik,,jika tdk mw di atur jgn hidup di indonesia cari negara yg tdk ada aturannya,orang biasanya menyalahkan aturan karna egois dgn kepentingan pribadi,tdk peduli dgn kepentingan umum.jdi uu no 23 itu legalitasnya ada,,mengatur semua tentang tanah bangunan jalan raya,dan perkeretaapian,saya tw anda blm pernah baca tentang uu no 23 tahun 2007,makanya anda ngelantur,apa anda sendiri tingal di tanah milik kereta api dan anda tdk punya perizinan sehinga di tertibkan oleh pihak pt kereta api?sadar jja,,ini negara hukum bkan berarti untuk pribadi tpi bwat kepentingan umum,jagn egoisme,,tksh
ReplyDeleteTrimakasih sudah membaca blog saya, jika anda punya wawasan lebih tentang uu 23 tahun 2007 dikaitkan dengan regulasi pertanahan yang ada (uu agraria dan peraturan bpn) yang secara hirarki setara atau subordinat mohon buat tulisan di blog atau media lain, biar saya bisa lihat analisa anda,
ReplyDeleteYang pasti dalam tulisan blog saya ada paramater dasar hukum yg jelas dan secara yuridis,
Trimakasih atas under estimate terhadap kediaman saya, saya bukan orang kaya, td saya tinggal di atas tanah bersertipikat hak milik atas nama saya, alhamdulilah jauh dari lintasan kereta api,
Menulis blog bagi saya butuh riset dahulu, tidak semudah seperti anda berkomentar (meskipun komentar tidak pernah di larang),
Insyallah next time saya akan buat tulisan komprehensig ttg uu 23 tahun 2007, saya harap anda bersedia dan mampu membuktikan hal yg anda yakini juga dengan sebuah karya tulisan (bukan hanya dengan komentar)
Sekali lagi terima kasih sudah berkunjung ke blog saya,
Salam
"lex specialis derogate lex generalis"
ReplyDeletehukum yang khusus menyampingkan hukum yang umum..
betul pak tks infonya
ReplyDeletemaaf sebelumnya, saya ikut nulis nulis di kolom komentar saudara...
ReplyDeletesaya cuma mau tanya, kenapa saudara hanya bahas lahan yang PT. KAI saja? sedangkan banyak perusahaan BMUN lain juga memiliki lahan yang disewakan ke masyarakat contoh seperti PT. BA (Bukit Asam), PT. PELNI, TNI, dll. kenapa anda tidak mempertanyakan atau menulis diatas tentang dasar hukumnya? bukankah lahan tersebut peninggalan kolonial Belanda juga?
#Maaf jika ada salah kata.
makasih atas riset informasi penulis, saya saya yakin anda menulis atas kesadaran dan pengalaman keseharian juga atas kepedulian anda pada yang terjadi disekitar anda. ada sebagian yang tidak saya sepkati tp secara keseluruhan saya sepakat dg paparan dan sudut pandang anda, sekali lagi makasih info yg sgt berguna ini. saya tunggu tulisan anda berikutnya, salam....
ReplyDeleteiki opo to iki.. yang dibahas apa komentarnya apa... ini literaturnya ga jelas sumber ga jelas, konklusi ga jelas. malah komennya ricuh.. jangan buat blog.. buat trit aja di kaskus
ReplyDeleteBila boleh menambahkan :
ReplyDeletepenulisan yang betul adalah GRONDKAART,
dalam setiap grondkaart selalu tercantum surat-surat (manuskrip) yang mendasari pembuatan dan pengesahan kepemilikan tanah tersebut. Disitu juga dijelaskan batas-batas kepemilikan, fungsi dan hak setiap tanah yang tampak di Grondkaart.
Grondkaart dibuat oleh juru ukur tanah, berdasarkan sebuah dokumen kepemilikan tanah tersebut, atas permintaan pihak pemerintah, dan disahkan oleh Kadaster (BPN zaman dulu).
Sekjen Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Petanahan Nasional Noor Marzuki menyampaikan bahwa GRONDKAART bisa dijadikan sebagai alat bukti kepemilikan. Itu pernyataan dari orang yang diserahi negara sebagai kepala BPN lho.
Di dalam beberapa putusan pengadilan dan MA, mereka juga mengakui grondkaart adalah bukti yang sah.
bahkan Kementerian Keuangan pun mengakuinya.
Nah... bila ada pihak yang tidak mengakui, bisa jadi karena pemahamannya kurang lengkap, atau bisa jadi mengutamakan egonya. Ego dalam arti karena yang berpendapat punya kepentingan dengan tanah yang terdaftar dalam grondkaart.
Dan setahuku, yang terpetakan dan tercantum dalam grondkaart adalah TANAH PEMERINTAH, bukan tanah negara / tanah negara bebas.
Di sebut tanah pemerintah karena tanah tersebut sudah tercatat sebagai aset pemerintah.
Salah satu contoh bangunan yang keberadaannya didasari oleh Grondkaart adalah Istana Negara, itu contoh paling sederhana. Bila grondkaart tidak diakui oleh negara, ya kita gusur saja penghuninya, suruh tukang kebon yang sudah kerja dan hidup disitu puluhan tahun untuk mengakui bahwa tanah istana negara milik dia.
kan jadi konyol kalau grondkaart tidak diakui.
itu sedikit penjelasan dari saya.
Buatlah kereta api di atas jalan Raya itu pasti sangat membantu
ReplyDeletePost a Comment