Dalam pelaksanaan pembangunan nasional mutlak diperlukan pengadaan tanah yang tidak sedikit jumlahnya dan hampir dapat dipastikan telah terdapat subjek hukum yang memiliki hak atas tanah tersebut. Sebagai sumber daya alam yang tergolong tetap dan tidak dapat bertambah, jumlah tanah berbanding terbalik dengan deret ukur jumlah penggunaan tanah. Sehingga penggunaan tanah harus dapat dilakukan sebijak mungkin untuk kesejahteraan rakyat.
Pembangunan dan penguasaan tanah harus merupakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup, yaitu pembangunan secara sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan akan datang. Agar pembangunan dan penguasaan tanah sebagai sumber daya alam sesuai dengan program-program pembangunan, maka dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip yang terkandung di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan hukum tanah nasional. Dengan demikian pelaksanaan pengadaan tanah harus sejalan dengan asas dan prinsip keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan, keberlanjutan dan keselarasan.
Dalam era sekarang disebutkan bahwa pelaksanaan pengadaan tanah dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah (yang dimiliki Warga Negara/Badan Hukum sebagai subjek hukum) dan pada prinsipnya dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan (RUUPTuP) disempurnakan pelaksanaanya guna memberikan kepastian legalitas hukum, antara lain:
1. Berpedoman kepada beberapa asas pengadaan tanah, yakni Asas Keadilan, Asas Kemanfaatan, Asas Kepastian, Asas Keterbukaan, Asas Kesepakatan, Asas Keikutsertaan, Asas Kesejahteraan, Asas Keberlanjutan dan Asas Keselarasan.
2. Tentang definisi “Kepentingan Umum” yang setidaknya mengacu kepada kriteria pokok mengenai kepentingan umum, yaitu: Pengadaan tanah tidak bertujuan untuk mencari keuntungan (profit oriented); Pengadaan tanah dilaksanakan oleh Pemerintah dan atas nama Negara; dan Hasil pengadaan tanah sepenuhnya merupakan milik Pemerintah/Negara.
3. Tentang komponen utama ganti kerugian yang meliputi Penggantian kerugian fisik dan/atau non fisik, serta dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari sebelum pengadaan tanah.
4. Dalam kerangka pengadaan tanah untuk pembangunan (kepentingan umum dan swasta) dalam hal ini sekalipun Negara menggunakan hak publik untuk memastikan pembangunan dapat berjalan, dan tidak dapat dihambat oleh penggunaan hak privat. Dalam konteks ini tidak ada hak publik yang mengalahkan hak privat, namun juga tidak bisa hak privat mengalahkan hak publik. Keduanya harus ada pelaksanaan hak yang seimbang dengan melalui proses yang adil, terbuka dengan melibatkan masyarakat mulai dari tahap perencanaan, penetapan lokasi, pengadaan tanah, penentuan bentuk dan nilai ganti kerugian sampai pada mekanisme pengendalian dan pengawasan.
5. Ketika masyarakat pemegang hak privat tidak puas akan pelaksanaan hak publik oleh Negara, maka demi keseimbangan dalam pembayaran/penyelesaian ganti kerugian atas tanah yang dibebaskan, perlu juga diberikan lembaga banding (judicial process) dan juga dimungkinkan upaya hukum luar biasa (Peninjauan Kembali);
6. Dalam pembiayaan pengadaan tanah harus memenuhi 3 (tiga) azas, yaitu ketersediaan anggaran untuk setiap saat diperlukan (availability), kemudahaan dalam menggunaan anggaran (accessibility) dan dapat dipertanggungjawabkan penggunaannya (liability/accountability).
7. Nilai ganti kerugian adalah nilai tertinggi dari NJOP atau nilai pasar yang didasarkan pada hasil taksiran dari penilai independen.
BEBERAPA PASAL YANG KRUSIAL DAN PERLU DICERMATI
Berdasarkan telaahan kami masih terdapat beberapa hal yang penting untuk diperhatikan guna penyempurnaannya, yakni:
1. Ketentuan Umum Pasal 1 RUUPTuP belum memberikan gambaran definisi/terminologi dan limitatif mengenai “Kepentingan Umum”, sehingga membuka celah dalam penafsiran yang menyalahgunakan wewenang/kekuasaan dengan mengatasnamakan “Kepentingan Umum”
Secara harfiah hingga saat ini belum ada definisi yang pasti mengenai “Kepentingan Umum” namun setidaknya mengacu kepada kriteria pokok mengenai kepentingan umum sebagaimana telah diuraikan di atas
2. Pasal 1 Butir (2) RUUPTuP menentukan bahwa pengadaan tanah adalah kegiatan untuk memperoleh tanah bagi kepentingan pembangunan dengan cara membayar ganti kerugian yang layak kepada pihak yang berhak (pemilik tanah).
Adapun komponen utama ganti kerugian meliputi penggantian fisik dan/atau non fisik dengan memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari sebelum pengadaan tanah.
Khusus untuk bentuk kerugian terhadap tanah milik BUMN Perkebunan, kiranya dapat diupayakan dilakukan dengan pola tukar guling/ruislag dengan nilai yang setara. Pemberian ganti kerugian tersebut hanya untuk kepentingan umum namun untuk kepentingan swasta diperlukan adanya kesepakatan antara para pihak sebagaimana ketentuan Pasal 1313 KUHPdt.
Adapun komponen utama ganti kerugian meliputi penggantian fisik dan/atau non fisik dengan memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari sebelum pengadaan tanah.
Khusus untuk bentuk kerugian terhadap tanah milik BUMN Perkebunan, kiranya dapat diupayakan dilakukan dengan pola tukar guling/ruislag dengan nilai yang setara. Pemberian ganti kerugian tersebut hanya untuk kepentingan umum namun untuk kepentingan swasta diperlukan adanya kesepakatan antara para pihak sebagaimana ketentuan Pasal 1313 KUHPdt.
3. Pasal 1 Butir (8) RUUPTuP mengenai definisi/terminologi “Ganti Kerugian” yang layak tidak ditegaskan adanya kesepakatan terhadap nilai Ganti Kerugian dari para pihak atas tanah yang dibebaskan, sehingga hal tersebut belum memenuhi maksud daripada Asas Keadilan dan Kesepakatan;
4. Pasal 6 dan 9 RUUPTuP menentukan bahwa Pihak yang berhak (pemilik hak atas tanah) diwajibkan untuk melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Hal ini bertentangan dengan asas dalam pengadaan tanah, khususnya asas kesepakatan yang menyatakan dalam pengadaan tanah dilakukan dengan cara musyawarah para pihak tanpa unsur paksaan untuk mendapatkan kesepakatan bersama. Selain itu sekalipun Negara menggunakan hak publik untuk memastikan pembangunan dapat berjalan, namun dalam pelaksanaannya harus seimbang menghormati hak privat atas tanah dengan melalui proses yang adil, terbuka dengan melibatkan masyarakat mulai dari tahap perencanaan, penetapan lokasi, pengadaan tanah, penentuan bentuk dan nilai ganti kerugian sampai pada mekanisme pengendalian dan pengawasan.
5. Pasal 7 RUUPTuP menentukan bahwa Pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan oleh Lembaga Pertanahan (dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional), sedangkan dalam ketentuan terdahulu (Perpres No 36 tahun 2005 jo Perpres No 65 tahun 2006 pengadaan tanah dilakukan oleh Panitia Pengadaan Tanah terdiri dari usur Pemerintahan dan Badan Pertanahan Nasional).
Implikasi dari didelegasikannya pelaksanaan pengadaan tanah kepada BPN, maka segala kegiatan pengadaan tanah mulai dari tahapan perencanaan, persiapan, pelaksanaan, penyerahan dan pengendalian pertanahan menjadi kewenangan BPN, termasuk di dalamnya penunjukan Lembaga Apraisal Independen (Konsultan Penilai) terkait ganti kerugian tanahnya. Hal tersebut dalam prakteknya dikhawatirkan dapat mengurangi Independensi Konsultan Penilai dalam menaksir nilai tanah yang akan dibebaskan sehingga dapat merugikan pemilik hak atas tanah.
6. Pasal 13 RUUPTuP perlu mengatur secara tegas mengenai definisi pengadaan tanah untuk kepentingan umum maupun untuk kepentingan swasta, termasuk juga kategori/rincian pemanfaatan tanahnya harus bersifat tegas dan limitatif/terbatas
Dalam Pasal 13 RUUPTuP kriteria penggunaan tanah untuk kepentingan umum berbeda dengan yang ada didalam Perpres Nomor 36 tahun 2005 jo Perpres Nomor 65 tahun 2006, dimana dalam Pasal 13 RUUPTuP ditambahkan objek peruntukkan untuk:
a. Infrastruktur minyak, gas dan panas bumi, meliputi transmisi dan/atau distribusi minyak, gas dan panas bumi;
b. Jaringan telekomunikasi dan informatika;
c. Rumah sakit pemerintah/pemerintah daerah;
d. Tempat pemakaman umum/pemerintah daerah;
e. Pertanahan dan keamanan nasional;
f. Kantor pemerintah/pemerintah daerah/desa;
g. Penataan pemukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah;
h. Prasarana olah raga pemerintah/pemerintah daerah;
i. Pembangunan Kepentingan umum lainnya yang ditetapkan dengan keputusan presiden.
Pembangunan untuk objek peruntukkan tersebut di atas kecuali huruf (e) dapat dilaksanakan pemerintah bekerja sama dengan BUMN, BUMD dan Pihak Swasta yang popular dengan pola public-private partnership yang sudah barang tentu didalamnya mengandung unsur pendanaan modal yang bersifat/bertujuan komersial (seperti migas dan jaringan komunikasi telepon dll). Hal tersebut bertentangan dengan kriteria pokok dari kepentingan umum yang ada yakni non profit oriented dan sepenuhnya untuk/atas nama Negara.
7. Pasal 17 RUUPTuP ditentukan bahwa pengadaan tanah secara parsial yang berasal dari inisiatif masing-masing Instansi yang memerlukan tanah berdasarkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah, Rencana Strategis dan Rencana Kerja Pemerintah Instansi yang bersangkutan.
Hal tersebut di atas membuka celah terjadi overlapping pengadaan tanah, karena tidak berdasarkan rencana nasional, melainkan secara parsial dari masing-masing Instansi, sehingga pada akhirnya yang dirugikan adalah Pemilik hak atas tanah yang mau tidak mau wajib melepaskan hak atas tanahnya demi kepentingan umum.
8. Pasal 18 Ayat 2 RUUPTuP menentukan bahwa dokumen perencanaan Pengadaan Tanah harus berdasarkan studi kelayakan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Terhadap hal tersebut guna meminimalkan permasalahan dikemudian hari terkait pengadaan/pembebasan tanah, maka disarankan perlu juga dilakukan legal audit (kelayakan hukum mengenai perencanaan pengadaan tanah).
9. Pasal 20 RUUPTuP menentukan bahwa rencana pembangunan/pengadaan tanah disampaikan kepada pihak yang berhak (pemilik hak atas tanah) baik secara langsung maupun tidak langsung.
Untuk tertib administrasi legal pengadaan tanahnya, maka disarankan pemberitahuan terhadap pemilik hak atas tanah dilakukan secara tertulis. Hal ini guna membantu dalam mekanisme pembuktian/kontrol terhadap pelaksanaan pengadaan tanah sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku.
10. Pasal 42 RUUPTuP belum mengatur secara tegas mengenai hak warga/rakyat pemilik tanah yang akan dibebaskan bilamana dalam proses pengajuan keberatan nilai ganti kerugian kepada Pengadilan Negeri, memperoleh putusan yang memenangkan keberatannya atas nilai ganti kerugiannya maka harus diberikan jaminan kepastian pembayarannya (misalnya dibayarkan maksimal dibayarkan 60 hari setelah putusan pengadilan).
11. Pasal 42 Ayat (3) RUUPTuP menentukan bahwa Putusan Pengadilan Negeri merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir yang bersifat final dan mengikat dalam hal terjadi sengketa nilai ganti rugi dalam pembebasan tanah.
Hal tersebut di atas bertentangan dengan asas peradilan umum, bahwa setiap Warga Negara mempunyai hak mencari keadilan dari Tingkat Pengadilan Negeri sampai dengan jenjang Mahkamah Agung (Kasasi atau PK)
12. Pasal 51 RUUPTuP menentukan bahwa apabila pemilik hak atas tanah menyatakan keberatan, gugatan atau tuntutan atas pelaksanaan pengadaan atas tanah, maka Instansi yang memerlukan tanah tetap dapat melaksanakan kegiatan pembangunan dengan menitipkan pembayaran ganti ruginya di Pengadilan Negeri.
Keberatan terhadap nilai ganti rugi yang diberikan, dilakukan paling lama 14 hari kerja setelah musyawarah penetapan ganti kerugian, ditujukkan kepada Pengadilan Negeri dan Putusan Pengadilan Negeri Bersifat Final dilakukan paling lama 30 hari kerja.
Terhadap hal tersebut, perlu juga ditegaskan kepastian hokum kepada pemilik tanah mengenai jangka waktu maksimal pemberian ganti kerugian apabila dalam gugatan di pengadilan pemilik hak atas tanah dimenangkan gugatannya (misalnya: ganti kerugian akan dibayarkan maksimal 30 hari setelah putusan pengadilan)
13. Pasal 66, 67 dan 68 RUUPTuP menentukan bahwa pelepasan tanah yang terkait dengan tanah yang dimiliki/dikuasai oleh BUMN/BUMD pelepasannya dilakukan paling lambat 60 hari kalender sejak Penetapan Lokasi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Apabila pelepasan belum selesai dalam jangka waktu 60 hari dimaksud, maka tanahnya dinyatakan telah dilepaskan dan menjadi tanah Negara dan dapat langsung digunakan untuk pembangunan bagi kepentingan umum.
Pelepasan asset tanah dimaksud selain berdasarkan izin dari Menteri BUMN Republik Indonesia juga harus diketahui/disetujui oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia.
14. Pasal 69 Ayat C dan Pasal 72 RUUPTuP harus menyebutkan secara rinci peraturan perundang-undangan apa saja yang akan dibatalkan/dicabut dengan berlakunya Undang-Undang tentang Pengadaan Tanah, hal tersebut untuk memberikan kepastian hukum dalam proses pengadaan tanahnya.
15.Selain dari substansi Pasal-Pasal yang ada dalam Draft RUUPTuP yang telah dibuat oleh Pemerintah, diusulkan juga untuk kiranya dapat dilakukan penambahan Bab Khusus yang mengatur mengenai Sanksi-Sanksi bilamana terjadi pelanggaran terhadap RUUPTuP, baik berupa sanksi administratif maupun sanksi pidana.
16. Perlu juga diperhatikan ketentuan undang-undang lainnya yang terkait dengan tanah antara lain:
a. Undang-Undang RI No: 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;
b. Undang-Undang RI No: 51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya;
c. Undang-Undang RI No: 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di atasnya;
d. Undang-Undang RI No: 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan;
e. Undang-Undang RI No: 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Post a Comment