Usulan Pemerintah untuk merevisi Wetboek van Strafrecht atau Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) yang merupakan warisan Pemerintah Kolonial Belanda telah disepakati beberapa
waktu lalu. Maklumlah Undang-Undang tersebut dirasa sudah jadul dan ketinggalan
zaman, karena itu revisi KUHP dan KUHAP (yang pertama kali dibuat di Belanda
tahun 1881 dan pertama kali diberlakukan di Indonesia pada tahun 1918) sudah
sangat mendesak lantaran sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan kerap
menimbulkan kekacauan hukum.
KUHP yang berlaku pada saat ini memiliki
sejumlah kelemahan, sehingga tidak mampu mendorong penciptaan keadilan dan
kepastian hukum di masyarakat. Khusus KUHAP yang berlaku sekarang pun kerap
menimbulkan kesimpangsiuran hukum karena sejumlah ketentuan hukum yang
diaturnya multitafsir seperti: system penuntutan; penyelesaian perkara di luar
pengadilan; prosedur persidangan; hukum pembuktian; upaya hukum; upaya paksa;
bantuan hukum; perlindungan saksi serta korban; dan administrasi pengadilan.
Apabila ditelisik lebih dalam, KUHP dan KUHAP
Indonesia sudah tertinggal jauh dibandingkan dengan aturan hukum pidana di
Negara lain. Bahkan di Belanda, yang notabene merupakan Negara asal KUHP dan
KUHAP, sudah tidak berlaku lagi.
Dalam RUU KUHP yang dibuat Pemerintah
mengandung sejumlah perubahan, selain mengandung batas minimum pemberian
pidana, juga secara khusus mengatur bahwa hukuman mati hanya akan diterapkan
pada tindak pidana khusus yaitu kejahatan terorisme dan tindak pidana korupsi.
Sedangkan untuk kejahatan lain hukuman mati tidak lagi menjadi hukuman pokok.
Hal ini dapat dikatakan mengikuti perkembangan hukum pidana internasional yang
sudah tidak lagi menggunakan hukuman mati.
Sedangkan sistem dalam RUU KUHAP yang dibuat
Pemerintah berbanding terbalik dengan system KUHAP yang saat ini masih berlaku
yang menempatkan ketiga lembaga penegakan hukum memiliki kedudukan setara.
Selain itu juga dalam RUU KUHAP terdapat Hakim Komisaris yang berwenang
memperbaiki surat dakwaan penuntut dan mengembalikan kepada penuntut. Secara
administratif langkah hukum penyadapan dijadikan salah satu objek penilaian
Hakim Komisaris terhadap tindak pidana serius yang mengancam stabilitas keamanan
Negara dan masyarakat, stabilitas ekonomi nasional, dan melindungi Hak Asasi
Korban. Pada pokoknya dalam RUUn KUHAP menggantungkan peran sentral Hakim
Komisaris dalam lima langkah projustisia (penangkapan, penahanan, penyitaan,
penggeledahan, dan penyadapan).
*Sumber
Bacaan: Majalah Warta Perundang-Undangan Edisi Maret 2013
Post a Comment