Saran Draft RUU Perubahan Undang-Undang 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan




Perkebunan yang merupakan industri padat karya, sudah barang tentu memberikan kontribusi yang tidak sedikit bagi masyarakat sekitar, mulai dari penciptaan lapangan pekerjaan; kontribusi pajak (PPh, PPn dan BPHTB); hingga program swasembada pangan dan peningkatan Product Domestic Bruto (PDB) Nasional.

Dalam kenyataannya Pasal 21 juncto Pasal 47 Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 yang selama ini merupakan “pijakan” bagi keberlangsungan usaha perkebunan, pada tahun 2011 telah disetujui oleh Mahkamah Konstitusi untuk dilakukan judicial review, sehingga meningkatkan sengketa/klaim yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan.

Berpijak pada hal tersebut DPR RI melalui hak inisiatif yang dimilikinya mengusulkan untuk dapat dilakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, dan untuk itu Komisi IV DPR RI (yang selama membidangi urusan perkebunan) sedang gencar melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait materi Draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkebunan (download Draft RUU Perkebunan di Link ini).

Sebagai payung hukum bagi masyarakat perkebunan di Indonesia, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan diharapkan tidak hanya berisi persyaratan normatif yang bersifat kewajiban (obligation), tetapi juga berisi perlindungan/kepastian hukum (law certainty) bagi pelaku usaha perkebunan.


Setelah membaca Draft RUU Perkebunan, menurut hemat saya masih terdapat beberapa hal yang menjadi perhatian untuk penyempurnaannya, yaitu:

1.   Ketentuan Pasal 11 Ayat (2) RUU Perubahan UU Perkebunan menentukan bahwa “Dalam hal terjadi perubahan status kawasan hutan Negara atau lahan yang terlantar, Pemerintah dapat mengalihkan status alas hak dan memberikan hak pengelolaan kepada pekebun”

Ketentuan tersebut menimbulkan ketidakpastikan bagi pelaku usaha perkebunan, khususnya dalam hal pendanaan perkebunan yang menggunakan kredit perbankan melalui mekanisne pembebanan Sertipikat Hak Tanggungan atas Hak Guna Usaha (HGU)/ Hak Guna Bangunan (HGB)/ maupun Hak Pakai. Sedangkan Hak Pengelolaan (yang akan diberikan Negara apabila terjadi peralihan status hutan) bukan merupakan objek Hak Tanggungan (vide Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah).

2.   Ketentuan Pasal 12 Ayat (2) RUU Perubahan UU Perkebunan menentukan bahwa “pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dilakukan dengan penelitian oleh Pemerintah Daerah dengan melibatkan akademisi dan masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang bersangkutan”

Ketentuan dimaksud hendaknya diharmonisasikan kembali dengan Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor: 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, yang selama ini dijadikan acuan dalam penyelesaian sengketa tanah, dengan aturan tegas bahwa hak ulayat adat tidak dapat dilakukan terhadap bidang-bidang tanah yang:
  • Dimiliki oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah menurut Undang-Undang Pokok Agraria;
  • Merupakan bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh Instansi Pemerintah, Badan Hukum atau Perseorangan sesuai ketentuan dan tata cara yang berlaku.
Selain itu untuk kepastian hukum, perlu juga ditegaskan kembali mengenai produk  penelitian yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dimaksud dalam suatu Peraturan Daerah.

3.  Ketentuan Pasal 30 RUU Perubahan UU Perkebunan menentukan bahwa setiap orang tanpa seizin pemilik hak atau secara tidak sah dilarang:
  • Mengerjakan, menggunakan, dan/atau menduduki lahan perkebunan;
  • Melakukan penebangan tanaman dalam kawasan perkebunan; atau
  • Memanen dan/atau memungut hasil perkebunan.
Perlu ditegaskan kembali tentang definisi pemilik hak? Apakah hanya mencakup Hak atas Tanah (HGU/HGB/Hak Pakai)? atau juga meliputi hak keperdataan yang dimiliki oleh Pelaku Usaha Perkebunan. Hal ini dikarenakan saat ini masih banyak lahan perkebunan khususnya yang masih dalam proses pengurusan permohonan HGU di BPN RI (belum memiliki Sertipikat HGU).

4.  Ketentuan Pasal 32 Ayat (1) RUU Perubahan UU Perkebunan menentukan bahwa “Dalam hal mengerjakan, menggunakan dan/atau menduduki lahan perkebunan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf a dilakukan oleh masyarakat hukum adat maka penyelesaian dilakukan secara musyawarah”

Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pelaku usaha perkebunan karena akan menimbulkan:
  • Tidak menimbulkan efek jera bagi oknum masyarakat yang mencoba melakukan tindakan okupasi lahan perkebunan;
  • Preseden buruk dalam penyelesaian permasalahan sengketa lahan perkebunan yang memakan banyak memakan waktu dan biaya serta berpotensi menjadi modus operandi yang berulang.
Selain itu hal ini bertentangan dengan ketentuan Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor: 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, yang menentukan bahwa hak ulayat adat tidak berlaku bagi tanah yang telah bersertipikat.

Post a Comment

Previous Post Next Post