Euforia pemilihan umum (pemilu) tahun 2014,
baik calon legislatif maupun calon presiden/ kepala daerah (bupati/gubernur),
mengingatkan saya terhadap mata pelajaran Tata Negara yang pernah saya pelajari
semasa di bangku SMU tahun 2003. Khususnya cyclus
theory yang diungkapkan oleh Polybios
sebagai berikut: Monarki – Tirani – Aristokrasi – Oligarki – Demokrasi –
Okhlokrasi – Monarki.
Cyclus theory
tersebut sedang dialami oleh Indonesia, demokrasi yang dianut mulai bergeser
dan terkesan kebablasan. Kita ambil contoh dalam hal sosialisasi calon legislatif
(caleg) baik di tingkat Kabupaten, Provinsi, maupun Pusat penuh dengan hal-hal
yang cenderung menerobos aturan seperti: pemasangan baner dan stiker pada
fasilitas umum (tiang listrik/telepon, pohon penghijauan,) tanpa izin, bahkan
aset pribadi mirip orang lain. Sungguh miris melihat caleg yang notabene
merupakan calon wakil rakyat bersosialisasi dengan cara melanggar aturan.
Fenomena menjelang pemilu lainnya terasa jika
kita mengemudi, maka pemandangan foto caleg di kaca belakang angkot dianggap “lumrah”,
padahal hal tersebut merupakan bentuk pelanggaran lalu lintas dan mengancam keselamatan
pengendara (vide Undang-Undang Nomor:
22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan). Logikanya kita pasang
kaca film gelap saja terancam ditilang polisi, karena dianggap membahayakan
pengendara lainnya (karena membatasi penglihatan/pandangan pengemudi lain di
belakang angkot tersebut, sehingga menimbulkan potensi kecelakaan). Apalagi
kita pasang foto berwarna yang tentunya menutup pandangan pengemudi kendaraan
di belakangnya.
Secara pribadi sosialisasi seperti tersebut di
atas, bukannya menimbulkan simpati justru menimbulkan antipati dan keraguan
untuk memilih. Asumsinya masih menjadi caleg saja sudah banyak melakukan
pelanggaran, apalagi sudah ditetapkan sebagai anggota legislatif (yang punya
kewenangan dan fasilitas) pastinya akan menimbulkan potensi penyalahgunaan
wewenang.
Pemasangan baner/spanduk/stiker yang hanya
berisi foto dan nama caleg dirasakan kurang efektif dan komunikatif (apalagi
jika kebetulan foto si caleg kurang good
looking), padahal yang dibutuhkan
calon pemilih adalah latar belakang ataupun rekam jejak serta visi dan misinya
yang harus jelas. Penggunaan jejaring sosial seperti
facebook-twitter-instagram-path hendaknya dapat dioptimalkan mengingat pada
tahun 2014, calon pemilih “muda” (pertama kali memilih) masih sangat potensial jumlahnya.
Semoga
Pemilu 2014 dapat menghadirkan wakil rakyat yang terbaik yang mampu membawa
Indonesia menjadi lebih baik lagi, amin.
Post a Comment