Implikasi Pidana Terhadap Pelanggaran Kontrak Komersial


Kontrak kerjasama yang dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara para pihak untuk atas objek kerjasama tertentu (kerjasama, jual-beli, sewa-menyewa, dll) yang lazimnya disepakati penyerahan prestasi/ objek dan memperoleh kontraprestasi/ pembayaran yang saling menguntungkan satu sama lain. Apabila kesepakatan telah terjadi maka kesepakatan tersebut mengikat kedua belah pihak seperti undang-undang (pacta sunt servandavide Pasal 1338 Ayat (2) KUHPerdata.

Pada perjanjian atau kontrak, apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban seperti yang diperjanjikan (wanprestasi), berarti prestasi yang harus dibayar/ diberikan tidak dilakukan, dengan sendirinya hak pihak lain menjadi tidak terwujud, dan jelas ini menimbulkan kerugian. Pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan perdata ke pengadilan sesuai prosedur untuk mendapatkan ganti kerugian dalam rangka memperoleh haknya (vide Pasal 1236 KUHPerdata).

Wanprestasi dapat terjadi akibat suatu kelalaian maupun karena adanya unsur kesengajaan yang berimplikasi pidana penipuan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 378 KUHPidana. Untuk menentukan apakah perbuatan tersebut disengaja atau tidak harus diperhatikan perbuatan sebelumnya (ante factum) dan perbuatan sesudahnya (post factum). Misalnya, melakukan perjanjian jual beli gabah padahal si pembeli tidak memiliki dana untuk membayar gabah dimaksud, si pembeli dengan tipu muslihat/ kata-kata bohong mengatakan memiliki cukup dana sehingga meyakinkan penjual untuk menyerahkan (levering) lebih dulu sejumlah gabah kepada pembeli. Namun kelanjutannya pembeli tidak pernah membayar sejumlah uang kepada penjual atas hasil penjualan gabah dimaksud. Atas dasar tersebut adanya suatu perjanjian sebagai permulaan perikatan tidak selalu menimbulkan akibat hukumnya wanprestasi.

Konsep wanprestasi dan konsep penipuan menurut dogmatik hukum merupakan 2 konsep yang berbeda. Konsep wanprestasi merupakan domain hukum perdata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1236 KUHPerdata, sedangkan konsep penipuan merupakan domain hukum pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHPidana. Penentuan batasan konsep antara wanprestasi dan penipuan tidaklah mudah, melainkan cenderung tergantung pada subjektivitas penegak hukum. Hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dalam menentukan perbuatan mana dikatakan wanprestasi dan perbuatan mana dikatakan penipuan.

Terhadap adanya tipu daya dalam kontrak tidak disyaratkan bahwa debitur mempunyai tujuan untuk merugikan krediturnya, akan tetapi sudah cukup jika debitur secara sengaja (willens en wetens) melanggar kewajiban kontraktualnya. Dalam Pasal 378 KUHPidana unsur-unsur deliknya, meliputi:

  1. dengan (sengaja) maksudnya;
  2. hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum;
  3. memakai nama palsu atau keadaan palsu, akal atau tipu muslihat, rangkaian kata bohong; dan
  4. membujuk orang supaya memberikan sesuatu barang, membuat utang atau menghapuskan piutang.

Pada praktiknya dalam pemenuhan unsur Pasal 378 KUHPidana, penegak hukum akan melihat apakah adanya niat jahat (mens rea) debitur dalam melakukan pelanggaran perjanjian atau kontrak. Hal tersebut lazimnya ditandai berdasarkan parameter debitur tidak pernah melakukan cicilan pembayaran kewajiban kepada kreditur, dan tidak pernah menanggapi tagihan pembayaran/ somasi yang diajukan oleh kreditur, sebelum pihak kreditur melaporkan tindak pidana penipuan kepada aparat penegak hukum.

Apabila unsur-unsur pidana terpenuhi dan ditemukan adanya niat jahat (mens rea) debitur, maka pelaporan pidana tersebut akan ditindaklanjuti sampai dengan tahap persidangan dan memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, antara lain sebagaimana yurisprudensi Mahkmamah Agung RI Nomor: 1610 K/Pid/2007.

Penggunaan hukum pidana untuk penyelesaian permasalahan kontraktual tidak menguntungkan dari sisi bisnis, kareha hukuman yang diberikan hanya sebatas kurungan badan/ penjara dan tidak dapat mengembalikan kerugian yang diderita pihak debitur. Hal tersebut berbeda dengan jalur hukum gugatan perdata yang memungkinkan menghukum debitur untuk membayar seluruh kerugian yang dialami oleh debitur, namun dalam praktek penegakan hukumnya memakan waktu yang lama termasuk persoalan dalam pelaksanaan eksekusi.

Peristiwa yang sering ditemui adalah debitur menggunakan ancaman pelaporan pidana penipuan Pasal 378 KUHPidana untuk mendapat pembayaran dari kreditur, namun pada saat aparat penegak hukum telah melakukan penyelidikan dan penyidikan serta menetapkan tersangka, para pihak menghendaki persoalan untuk diselesaikan secara kekeluargaan dengan melakukan pencabutan laporan pidana dimaksud. Hal ini jika ditinjau dari aturan normatif, perkara pidana tersebut tidak bisa dicabut. Akan tetapi apabila dilihat dari kacamata keadilan yang telah tercapai karena para pihak tidak ada lagi yang merasa dirugikan. Oleh karenanya terhadap perkara semacam itu aparat penegak hukum dapat menggunakan kewenangan diskresi yang dimiliki untuk menghentikan proses hukum atas perkara dimaksud.


Sumber referensi:

Cara Mudah Memahami Wanprestasi dan Penipuan Dalam Hubungan Kontrak Komersial; Dr. Yahman, S.H, M.H.; Kencana; 2016

Post a Comment

Previous Post Next Post