Kepailitan Sebagai Opsi Terakhir



Kerjasama bisnis yang diikat dalam perjanjian tertulis, dalam pelaksanaannya tidak jarang menemui hambatan baik disebabkan oleh force majeur, maupun akibat dari kelalaian salah satu pihak dalam memenuhi kewajibannya (wanprestasi).

Terhambatnya pembayaran (wanprestasi) terhadap utang jatuh tempo dapat disebabkan oleh unsur kesengajaan (niat jahat) dari debitur untuk tidak melaksanakan kewajibannya, maupun disebabkan karena keadaan tidak mampu bayar yang lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan yang dihadapi oleh debitur (financial distress) dari usaha debitur yang mengalami kemunduran.

Dalam sebuah perjanjian lazimnya terdapat klausula yang mengatur mengenai cara penyelesaian permasalahan melalui musyawarah dan jalur hukum sesuai domisili yang disepakati. Tetapi dalam penerapannya membutuhkan energi yang tidak sedikit dan waktu yang cukup lama.

Beranjak dari hal tersebut dibuatlah aturan hukum kepailitan (vide Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) dengan Pengadilan Niaga sebagai lembaga yang memiliki kompetensi mengadili permohonan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang diajukan.

Harapannya hukum kepailitan dapat memberikan perilndungan dan kepastian hukum bagi debitur terhadap piutang miliknya yang telah jatuh tempo namun sulit untuk diperoleh pembayaran bila menggunakan cara penyelesaian hukum gugatan perdata (wanprestasi) maupun laporan pidana (penipuan/ penggelapan).

Untuk mendapatkan sebuah putusan perkara perdata yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) sampai dengan tingkat Mahkamah Agung RI membutuhkan waktu paling sedikit + 3 tahun. Itu pun diluar dari waktu yang diperlukan dalam pelaksanaan sita eksekusi atas putusan pengadilan dimaksud. Sehingga sangat tidak efektif bila diterapkan untuk memperoleh penyelesaian permasalahan yang cepat.

Sedangkan dalam hukum kepailitan memiliki tahapan beracara yang lebih cepat dari perkara perdata. Hakim Pengadilan Niaga dalam waktu maksimal 60 hari kalender harus sudah memutus permohonan kepailitan yang diajukan oleh kreditur atau debitur. Pasca putusan pailit dibacakan maka kewenangan Direksi perusahaan yang dinyatakan pailit akan digantikan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas, dengan tugas melakukan pengurusan dan pemberesan terhadap harta pailit dengan tujuan utama menggunakan boedel pailit (asset debitur) untuk membayar seluruh utang debitur kepada kreditur secara proporsional (prorate parte) dan sesuai dengan struktur kreditur.

Bagi kreditur untuk mengajukan permohonan pailit terhadap debitur harus memenuhi persyaratan antara lain: ada lebih dari 1 kreditur; ada 1 utang jatuh tempo yang dapat ditagih; dan keberadaan utang tersebut dapat dibuktikan dengan sederhana. Apabila persyaratan tersebut dipenuhi dan terbukti dalam proses persidangan, maka hakim akan mengabulkan permohonan kepailitan dan menyatakan debitur pailit. Hal tersebut mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitur pailit, baik yang telah ada maupun yang akan dikemudian hari.

Dampak atas putusan pailit mengakibatkan Direksi debitor pailit tidak berwenang melakukan tindakan kepengurusan atas hartanya, bahkan dalam hal yang lebih lanjut mengakibatkan terhentinya roda bisnis debitur. Sehingga untuk pembayaran terhadap utang-utang kreditur dilakukan melalui penjualan boedel harta (asset) pailit milik debitur pailit melalui mekanisme lelang. Permasalahannya sering kali hasil penjualan atas boedel harta (asset) pailit masih di bawah besaran kewajiban sehingga pada saat pembagian hasil penjualan untuk pelunasan secara proporsional (prorate parte) dan sesuai dengan struktur kreditur.

Struktur kreditur pasca putusan Mahkamah Konstitusi RI secara hirarki struktur sebagai berikut: gaji karyawan yang belum dibayar; pajak; kreditur sparatis (pemegang jaminan); hak-hak ketenegakerjaan lain; kreditur preferen; biaya kepailitan dan imbal jasa kurator; dan kreditur konkuren. Sehingga pada saat pembagian hasil yang diperoleh seringkali di bawah dari besaran piutang jatuh tempo yang seharusnya diperoleh oleh kreditur.

Dari sisi debitur pailit, putusan kepailitan akan menimbulkan dampak yang besar mengakibatkan terhentinya usaha debitur (juga sangat dimungkinkan dilakukan pembubaran perusahaan). Hal tersebut juga pada akhirnya akan berdampak pada karyawan debitur pailit yang menggantungkan penghidupannya pada perusahaan debitur pailit.

Mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan dari putusan kepailitan yang sering pada umumnya tidak menguntungkan bagi debitur maupun kreditur, maka hendaknya penggunaan instrument hukum kepailitan merupakan opsi terakhir dalam penyelesaian permasalahan hutang piutang antara kreditur dan debitur. Jalur musyawarah merupakan alternatif terbaik (win-win solution) dalam penyelesaian permasalahan pembayaran utang yang jatuh tempo dengan cara merestrukturisasi pembayaran utang yang telah jatuh tempo.


Apabila upaya musyawaran melalui restrukturisai utang dan jalur hukum dan/ atau perdata telah ditempuh namun belum memberikan kejelasan terhadap perolehan pembayaran atas piutang yang telah jatuh tempo, maka pengajuan permohonan kepailitan dapat ditempuh dengan pertimbangan mendapat minimal (tidak seluruh) nilai pembayaran piutang  jatuh tempo dari pada tidak mendapat pembayaran sama sekali dari debitur. Hal tersebut adalah bagian dari resiko bisnis yang dihadapi kreditur maupun debitur.

Post a Comment

Previous Post Next Post